Ngaji Di Era Krisis Figur

Oleh Dr. Abdul Wadud Nafis, LC., MEI

Di tengah hiruk-pikuk era modern ini, kita hidup di masa yang disebut “krisis figur” — sebuah fenomena di mana tokoh-tokoh yang dahulu menjadi panutan mengalami berbagai skandal atau terlibat dalam kontroversi. Tidak jarang, masyarakat merasa kecewa dan bingung saat menyaksikan sosok yang mereka kagumi justru goyah dalam kepribadian atau moralitas. Krisis figur ini mengajarkan kita bahwa mengikuti ajaran yang benar seharusnya tidak berfokus pada seseorang semata, tetapi pada nilai-nilai dan prinsip yang hakiki.

Mengaji di era krisis figur adalah tentang mencari cahaya di tengah kegelapan yang membingungkan. Bukan berarti kita mengabaikan peran para ulama dan guru agama, tetapi kita diingatkan untuk tidak semata-mata bergantung pada manusia. Mengaji adalah jalan untuk mendekat kepada Allah dengan kesadaran mendalam, bahwa iman dan hikmah harus digali dari sumber yang paling murni. Dalam proses ini, kita berusaha menemukan kedalaman spiritual yang tak tergoyahkan meski dunia di sekitar kita terasa tak stabil.

Era krisis figur ini menjadi momen penting bagi kita untuk tidak hanya mencari ilmu, tetapi juga membentuk jiwa yang independen dan matang secara spiritual. Mari kita lihat bagaimana mengaji dengan cara yang benar bisa menjadi benteng dari kebingungan zaman, dan membantu kita menumbuhkan kemandirian dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Mengaji di era krisis figur membutuhkan pendekatan yang mendalam dan sistematis, agar kita dapat menemukan ketenangan spiritual dan panduan hidup yang kokoh meskipun panutan-panutan yang dahulu kita percayai mengalami berbagai permasalahan. Berikut ini adalah pembahasan lebih luas dan terperinci tentang bagaimana kita dapat menghadapi dan merespons krisis figur dalam konteks mengaji.

  1. Memahami Krisis Figur

Definisi Krisis Figur: Krisis figur terjadi ketika tokoh-tokoh atau panutan yang selama ini dianggap memiliki integritas dan keilmuan yang tinggi justru menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Mereka bisa saja mengalami penurunan moral, ketidakstabilan perilaku, atau terlibat dalam kontroversi yang meruntuhkan kepercayaan publik.

Dampak Krisis Figur: Krisis figur membuat masyarakat, khususnya umat Islam, merasa kehilangan panduan yang biasanya dapat diandalkan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Krisis ini memunculkan kebingungan, bahkan kadang kekecewaan, sehingga memengaruhi iman dan kepercayaan individu terhadap ajaran yang dibawa oleh figur tersebut.

  1. Pendekatan Mengaji yang Mandiri

a. Kembali pada Sumber-Sumber Utama:
Dalam kondisi krisis figur, penting bagi kita untuk tidak bergantung pada satu tokoh atau figur semata. Mengaji yang baik adalah mengaji yang merujuk langsung pada Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber utama ajaran Islam. Ini melibatkan usaha untuk memahami sendiri ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya dan moderat.

b. Mengkaji Kitab-Kitab Klasik dan Tradisional:
Selain Al-Qur’an dan Hadis, kita dapat belajar melalui kitab-kitab klasik yang diakui secara luas dalam Islam, seperti karya-karya ulama salaf (terdahulu) yang diakui keilmuan dan keikhlasannya. Ulama-ulama seperti Imam Ghazali, Imam Nawawi, dan para imam besar lainnya memberikan panduan yang teruji waktu dan relevan bagi umat sepanjang zaman.

c. Memanfaatkan Teknologi dan Sumber Referensi Terpercaya:
Di era digital, kita memiliki akses mudah ke berbagai bahan bacaan dan kajian dari berbagai ulama dunia. Meski kita harus berhati-hati, teknologi dapat menjadi sarana efektif untuk menambah wawasan dengan memilih sumber-sumber yang terpercaya, seperti website resmi ulama dan pusat kajian Islam moderat.

  1. Menumbuhkan Sikap Kritis dalam Mengaji

a. Memahami Peran Rasionalitas dalam Agama:
Sikap kritis bukan berarti menolak ajaran, melainkan menyeleksi ajaran dan bimbingan yang kita dapatkan, agar sesuai dengan tuntunan agama yang benar. Dalam hal ini, kita perlu mengedepankan rasionalitas dan pemahaman yang mendalam, memastikan bahwa ilmu yang kita ambil benar-benar berpijak pada nilai-nilai Islam yang lurus.

b: Menghindari Ketergantungan pada Figur Tertentu:
Islam mengajarkan bahwa ajaran agama bukan milik individu, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Ketika kita bersikap kritis, kita tidak mudah tergantung pada satu figur. Kita justru berfokus pada ilmu yang disampaikan, bukan pada siapa yang menyampaikan.

  1. Menumbuhkan Spiritualitas dan Kesalehan Pribadi

a. Mengutamakan Hubungan Langsung dengan Allah:
Salah satu tujuan mengaji adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan berfokus pada ibadah, seperti shalat, dzikir, dan memperbanyak doa, kita membangun spiritualitas pribadi yang kuat tanpa harus bergantung pada figur tertentu. Kedekatan ini akan membuat kita merasa damai dan tetap teguh meskipun menghadapi krisis figur.

b. Memperbanyak Amal Saleh dan Pembiasaan Ahlak Mulia:
Selain pengajaran, figur biasanya menginspirasi kita dalam hal akhlak dan perilaku. Di tengah krisis figur, kita perlu menumbuhkan sendiri nilai-nilai akhlak mulia dengan memperbanyak amal saleh, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dalam pekerjaan sehari-hari.

  1. Menjadi Figur yang Baik untuk Diri Sendiri dan Lingkungan

a. Berusaha Meneladani Sifat-Sifat Rasulullah SAW:
Dalam Islam, Rasulullah SAW adalah panutan utama yang sifat-sifatnya tercatat dalam sejarah dan diwariskan melalui hadis. Dengan memahami sifat-sifat Rasulullah dan mencoba meneladaninya, kita dapat menjadi figur bagi diri kita sendiri maupun lingkungan sekitar.

b. Berperan Sebagai Teladan dalam Masyarakat:
Krisis figur justru bisa menjadi peluang untuk membangun diri sebagai sosok yang dapat memberi manfaat bagi orang lain. Ketika masyarakat kehilangan panutan, mereka membutuhkan sosok-sosok yang berakhlak baik dan berintegritas. Maka, dengan menjadi teladan di lingkungan kita, kita membantu menutup kekosongan figur yang terjadi di era ini.

  1. Menguatkan Komunitas Mengaji yang Sehat dan Positif

a. Mengikuti Kajian dalam Komunitas yang Beragam:
Bergabung dalam komunitas mengaji yang sehat membantu kita bertukar pandangan dan saling memperkaya pemahaman tanpa harus fanatik pada satu tokoh atau madzhab tertentu. Dengan komunitas yang beragam, kita mendapatkan sudut pandang yang lebih luas dan inklusif.

b. Menjaga Nilai-Nilai Etika dalam Mengaji:
Penting untuk memastikan bahwa kegiatan mengaji bebas dari pengaruh-pengaruh yang merusak, seperti fanatisme berlebihan terhadap satu tokoh. Komunitas yang sehat akan mengutamakan nilai-nilai persaudaraan, saling menghormati, dan keterbukaan.

  1. Mengambil Hikmah dari Krisis Figur

a. Krisis Sebagai Pembelajaran tentang Kemanusiaan dan Keterbatasan Figur:
Krisis figur mengajarkan bahwa tokoh agama juga manusia biasa yang mungkin memiliki kelemahan. Pemahaman ini membantu kita lebih realistis dalam menempatkan figur pada porsinya, bahwa mereka adalah perantara, bukan pemegang kebenaran absolut.

b. Menumbuhkan Kesadaran Kolektif untuk Berpegang pada Prinsip, Bukan Sekadar Figur:
Dengan adanya krisis figur, kita menjadi lebih sadar bahwa prinsip dan nilai-nilai keagamaan harus lebih diprioritaskan daripada ketergantungan pada individu tertentu. Hal ini membantu kita membangun keimanan yang lebih murni, tidak bergantung pada figur, dan lebih berlandaskan pada keyakinan pribadi.

Penutup

Mengaji di era krisis figur adalah tentang membangun ketahanan spiritual dan memperkuat fondasi agama kita tanpa tergantung pada satu sosok. Dengan berfokus pada sumber-sumber utama, mengembangkan sikap kritis, memperkuat komunitas, dan menumbuhkan keteladanan pribadi, kita dapat menghadapi tantangan ini dengan baik. Krisis figur menjadi pengingat bahwa agama dan nilai-nilai kebenaran tidak bertumpu pada manusia, tetapi pada wahyu dan ajaran yang murni.

Pada akhirnya, mengaji di tengah krisis figur mengarahkan kita untuk lebih mandiri, kritis, dan spiritual, sehingga kita tetap teguh dalam menjalani kehidupan beragama dengan prinsip yang kokoh dan keimanan yang murni.

Mengaji di era krisis figur mengajak kita untuk kembali pada inti ajaran, mengandalkan kebenaran yang tak bergantung pada sosok tertentu. Di tengah segala kebingungan, mari kita jadikan ini sebagai momen memperkuat iman dan kemandirian dalam beragama. Pada akhirnya, mengaji bukan sekadar mencari ilmu, tetapi juga membangun keteguhan hati untuk tetap berada di jalan yang benar, apa pun tantangannya.

Daftar pustaka

  1. Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004.
  2. Al-Qaradawi, Yusuf. Al-Halal wa Al-Haram fil Islam. Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1997.
  3. Hidayat, Komaruddin. Psikologi Agama: Menguatkan Religiusitas dalam Diri. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
  4. Ibn Qayyim al-Jawziyah. Madarij al-Salikin: Meniti Jalan Keridhaan Allah. Riyadh: Dar Ibn Al-Jawzi, 2003.
  5. Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
  6. Quraish Shihab, M. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.
  7. Syahrur, Muhammad. Metodologi Pembacaan Kontemporer Terhadap Alquran. Terj. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: LKiS, 2007.
  8. Zuhri, Muhammad. Tafsir Kebudayaan: Agama dalam Pergulatan Makna. Yogyakarta: LKiS, 2002

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *