ISLAM MEMULIAKAN WANITA

Islam memandang bahwa wanita adalah sosok manusia dengan seperangkat potensi yang ada pada dirinya.  Sebagaimana pria, wanita dibekali  potensi berupa akal, naluri untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri, serta kebutuhan jasmani sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, Allah memberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dan wanita; seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, amar makruf nahi mungkar dan sebagainya.

Akan tetapi, adakalanya syariat Islam menetapkan adanya pembebanan hukum  dalam hak dan kewajiban yang berbeda bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum pria, tidak kepada wanita; masalah perwalian juga diserahkan hanya kepada kaum pria. Demikian pula dengan kepemimpinan dalam negara; jabatan kekuasaan ataupun pengaturan urusan umat secara langsung diberikan kepada kaum pria dan diharamkan kepada wanita.  Sedangkan masalah kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak, serta peran dan fungsi lain sebagai ibu dan pengatur rumahtangga dibebankan kepada wanita saja dan tidak kepada pria. 

Semua pembedaan di atas tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi atau ketidakadilan syariat Islam terhadap kaum wanita.  Sebab, jika dicermati, pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri yang dimiliki oleh masing-masing, di samping menyangkut peran dan posisi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Justru pembedaan ini merupakan cerminan dari kemahadilan dan kemahamurahan Sang Pencipta kepada ciptaannya; betapa Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan kaum wanita. Karenanya, dengan pembedaan ini, pria maupun wanita dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah sebagai hamba Allah, yang semuanya harus bermuara pada tujuan yang sama, yaitu meraih ridha Allah Swt.

Bagaimana pun kondisinya dan apa pun yang dibebankan oleh Allah, baik sebagai hamba Allah, anggota keluarga—apakah sebagai anak, istri, atau ibu—dan juga anggota masyarakat, apakah beban yang diberikan sama atau berbeda dengan kaum pria, maka wanita akan memperoleh kemuliaannya selama seluruh beban hukumnya dilaksanakan dengan ikhlas dan benar sebagai bukti ketundukan dan ketakwaannya kepada Allah Swt.

Ketika Islam datang ke muka bumi ini dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw., sebenarnya telah sangat nyata bahwa  Islam meninggikan derajat kaum wanita. Islam mencela dengan keras tradisi Jahiliah, di antaranya mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru dilahirkan atau pewarisan istri ayah kepada anak laki-lakinya. Celaan Islam atas perilaku Jahiliah tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan dan meninggikan derajat kaum wanita.  Allah Swt. berfirman:  

]وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيم ٌ ,يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ[

Jika seseorang dari mereka dikabari dengan (kelahiran) anak perempuan, merah-padamlah mukanya, dan ia sangat marah.  Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.  Apakah ia akan memeliharanya dan menanggung kehinaan atau menguburkannya ke dalam tanah hidup-hidup?  Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS an-Nahl [16]: 58-59).

Ketika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan wanita duduk pada jabatan kekuasaan, tidak berarti bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi warga negara nomor dua setelah laki-laki. Sebab, dalam pandangan Islam, posisi apapun seseorang, apakah sebagai rakyat ataupun penguasa adalah sama, yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Keduanya sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing; penguasa  sebagai pelaksana aturan-aturan Allah secara langsung, sedangkan rakyat sebagai pengontrol jalannya pemerintahan dan pengoreksi penguasa.

Adanya perbedaan ini tidak berarti yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari yang lain. Semua ini ditetapkan Allah sesuai dengan fitrahnya masing-masing; semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup manusia. Sebab,  nilai kemuliaan seseorang di mata Allah tidak diukur dari jenis kelaminnya, tetapi karena ketakwaan dan ketundukkanya kepada-Nya.  Keberadaan keduanya di dunia ini adalah sebagai makhluk Allah yang saling melengkapi dalam menjalani kehidupan, dengan pembagian peran yang jelas dan seimbang serta tetap mengacu pada aturan yang telah Allah berikan. Dengan itulah manusia, baik pria maupun wanita, dapat meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *