Lebih Baik Salah Mencintainya Daripada Salah Membencinya

Oleh Dr. Abdul Wadud Nafis, LC., MEI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan untuk mencintai atau membenci seseorang. Cinta dan benci adalah dua emosi yang berlawanan namun sama-sama kuat mempengaruhi tindakan dan sikap kita. “Mencintai” berarti memiliki perasaan kasih, sayang, dan penghargaan terhadap seseorang, yang biasanya disertai dengan keinginan untuk kebaikan orang tersebut. Di sisi lain, “membenci” adalah perasaan tidak suka yang kuat, disertai dengan keinginan untuk menjauh atau bahkan menyakiti orang yang menjadi objek kebencian.

Kedua perasaan ini memiliki dampak yang signifikan pada diri kita, baik dari segi emosional, spiritual, sosial, maupun fisiologis. Namun, ada ungkapan yang menyatakan bahwa “lebih baik salah mencintainya daripada salah membencinya.” Ungkapan ini mengandung makna mendalam yang dapat dianalisis dari berbagai perspektif keilmuan seperti ilmu agama Islam, fisiologi, sosiologi, dan sastra.

“Mencintai”, meskipun mungkin salah arah atau tidak tepat, cenderung membawa dampak yang lebih positif dan konstruktif dibandingkan dengan kebencian. Cinta, meskipun keliru, sering kali membuka peluang untuk perbaikan, pengampunan, dan pemahaman yang lebih baik. Sebaliknya, “kebencian” yang salah dapat berujung pada perpecahan, konflik, dan kerusakan, baik secara internal maupun eksternal.

Penjelasan lebih lanjut mengenai ungkapan ini akan menguraikan bagaimana cinta dan benci memengaruhi kita dari perspektif ilmu agama Islam, fisiologi, sosiologi, dan sastra, serta mengapa salah mencintai dianggap lebih baik daripada salah membenci.

Ungkapan “lebih baik salah mencintainya daripada salah membencinya” dapat dijelaskan dari perspektif ilmu agama Islam, fisiologi, sosiologi, dan sastra sebagai berikut:

  1. Ilmu Agama Islam.
    Dalam Islam, cinta dan kebencian merupakan perasaan yang harus dikelola dengan baik sesuai dengan ajaran agama. “Cinta” dalam Islam adalah fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, dan cinta yang benar adalah cinta yang mendekatkan kita kepada-Nya. Jika kita salah mencintai, meskipun ada risiko, perasaan ini dapat diarahkan dan diperbaiki melalui niat yang benar dan tindakan yang sesuai dengan syariat. “Kebencian”, di sisi lain, dapat mengarah pada perilaku yang dilarang, seperti ghibah (menggunjing), fitnah, atau permusuhan. Salah dalam membenci seseorang bisa berpotensi lebih merusak karena dapat menciptakan dosa dan merusak hubungan sosial yang dianjurkan untuk dijaga dalam Islam. Oleh karena itu, lebih baik mencintai dengan risiko salah daripada membenci yang berpotensi menimbulkan dosa dan permusuhan.
  2. Ilmu Fisiologi,
    Dari perspektif fisiologi, ‘cinta” dan “kebencian” berdampak pada tubuh melalui sistem hormonal dan saraf. “Cinta” sering dikaitkan dengan pelepasan hormon-hormon positif seperti oksitosin, dopamin, dan serotonin, yang meningkatkan perasaan bahagia dan kesejahteraan. Bahkan jika cinta itu salah, dampaknya pada tubuh masih lebih positif dibandingkan dengan kebencian. “Kebencian”, sebaliknya, memicu respons stres tubuh dengan melepaskan hormon kortisol, yang dalam jangka panjang bisa merusak kesehatan fisik dan mental. Salah dalam membenci dapat menyebabkan stres kronis, penyakit jantung, dan gangguan kesehatan lainnya, sehingga secara fisiologis, mencintai meskipun salah lebih baik daripada membenci dengan cara yang salah.
  3. Ilmu Sosiologi.
    Dalam sosiologi, hubungan antarindividu sangat dipengaruhi oleh emosi seperti cinta dan kebencian. “Cinta”, meskipun salah arah, masih berfungsi sebagai elemen yang dapat mempererat ikatan sosial dan mendorong empati serta solidaritas. Bahkan cinta yang tidak tepat dapat menghasilkan koneksi sosial yang positif, meskipun perlu diarahkan dengan benar. Sebaliknya, “kebencian” yang salah dapat menghancurkan hubungan sosial, menciptakan konflik, dan memecah komunitas. Kebencian sering kali berujung pada polarisasi sosial, di mana kelompok atau individu saling menjauhkan diri dan saling memusuhi. Dari perspektif sosiologi, mencintai, meskipun salah, lebih cenderung mempertahankan kohesi sosial daripada kebencian yang salah.
  4. Ilmu Sastra
    Dalam sastra, tema cinta yang salah arah sering kali menjadi pusat dari konflik emosional yang mendalam dan menarik. Cinta, meskipun salah, sering digambarkan sebagai sesuatu yang manusiawi dan memicu perkembangan karakter. Kisah-kisah tentang cinta yang salah arah sering kali membawa pesan tentang pengampunan, pembelajaran, dan kemanusiaan. Sebaliknya, ‘kebencian” yang salah biasanya digambarkan sebagai sesuatu yang merusak, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Kebencian yang salah sering kali berujung pada tragedi, baik dalam bentuk kehancuran pribadi maupun kehancuran sosial. Dari perspektif sastra, cinta yang salah dapat membawa pengajaran dan pengembangan karakter, sementara kebencian yang salah cenderung berakhir dengan kerugian dan penyesalan.

Kesimpulan
Dari berbagai perspektif—baik itu ilmu agama Islam, fisiologi, sosiologi, maupun sastra—terlihat jelas bahwa mencintai, meskipun mungkin salah, memiliki dampak yang lebih positif dan dapat diperbaiki dibandingkan dengan kebencian yang salah. Cinta, dengan segala kompleksitasnya, membuka pintu untuk pengertian, pertumbuhan, dan pemulihan. Sebaliknya, kebencian yang salah membawa kerusakan yang lebih mendalam, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Mencintai, meski keliru, tetap menunjukkan sisi kemanusiaan kita yang paling luhur—keinginan untuk merawat, mendekat, dan memahami. Sementara itu, membenci, terutama jika salah, hanya memperburuk hubungan dan menambah luka. Oleh karena itu, ungkapan “lebih baik salah mencintainya daripada salah membencinya” mengingatkan kita bahwa perasaan cinta, bahkan dalam kekeliruannya, lebih berharga daripada kebencian yang tak berdasar dan destruktif. Ini adalah panggilan untuk memilih jalan cinta, dengan segala risikonya, karena pada akhirnya, cinta memiliki potensi untuk membawa kebaikan, sedangkan kebencian hanya mengundang kehancuran.

Daftar Pustaka

  1. Al-Ghazali. (2007). Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  2. Al-Qaradawi, Yusuf. (2003). Fiqh Al-Awlawiyyat: A Study of the Priorities in Islamic Law. Cairo: Al-Falah Foundation.
  3. Nasr, Seyyed Hossein. (1996). Islam and the Plight of Modern Man. Chicago: Kazi Publications.
  4. Quraish Shihab, M. (2012). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
    ,5. Freud, Sigmund. (1920). Beyond the Pleasure Principle. New York: Boni and Liveright.
  5. Maslow, Abraham H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370-396. Durkheim, Émile. (1893). The Division of Labor in Society*. New York: Free Press.
  6. Hemingway, Ernest. (1952). The Old Man and the Sea. New York: Scribner.
  7. Shakespeare, William. (1603). Othello. London: Thomas Walkley.
  8. Dostoevsky, Fyodor. (1866). Crime and Punishment. London: Penguin Classics.
  9. Orwell, George. (1945). Animal Farm. London: Secker and Warburg.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *